Minggu, 11 Oktober 2015

Fasting Spirit for Couple

Penulis : Jon Hariyadi
Penerbit : Pustaka Elba, Surabaya
Jumlah Hal : 178
Tahun Terbit : 2009
Peresume : Novi Trilisiana, IM1

Masih seringkah kamu mendengar kesedihan kebanyakan orang ketika bulan Ramadhan pergi meninggalkannya? Banyak kesedihan mereka terucap dalam andai-andai maupun kata-kata rindu penuh harap supaya berjumpa kembali. Mereka sedih karena ibadah seperti puasa, membaca qur’an, sholat tarawih, sedekah, zikir, dan sebagainya di bulan Ramadhan akan terasa sulit dilakukan di bulan-bulan lain. Pahala yang dijanjikan pun tidak lagi berlimpah-limpah sebagaimana di bulan Ramadhan. 

Sebaiknya kesedihan ditinggal bulan Ramadhan diatasi dengan menjadikan bulan lainnya seolah bulan Ramadhan. Semua ibadah yang telah dilakukan saat Ramadhan tidak kita tinggalkan tetapi tetap kita lakukan di bulan berikutnya. Kita bisa meraih taqwa usai Ramadhan manakala hati kita senantiasa ridho menjalankan ibadah selayaknya di bulan Ramadhan. Boleh jadi intensitasnya sedikit menurun mengingat adanya perbedaan kondisi semangat. Jika Ramadhan, ibadah dapat dijalankan dengan mudah karena banyak orang berlomba-lomba beribadah dan Allah swt membelenggu setan. Akan tetapi di bulan lainnya, semangat tidak terlalu membara karena banyak orang kembali mengejar dunia dan melupakan tempaan ruhiyah Ramadhan. Nah, buku ini hadir dengan pandangan agar kita tidak larut dalam kesedihan ditinggal Ramadhan tetapi tetap konsisten me-Ramadhan-kan bulan yang lainnya. Bahkan, penulis memberikan spesifikasi penerapannya pada kehidupan suami istri. 

Seperti buku tentang manfaat puasa lainnya, buku ini kembali mengingatkan kita pada hakikat puasa. Menariknya, buku ini mengajarkan kita untuk mencapai kepada puasa level yang ketiga, puasa hati. Penulis mengutip pendapat Ibnu Qudamah tentang level puasa. Pertama, puasa orang umum (shiyamul ‘am) yaitu puasa yang dilakukan oleh kebanyakan orang. Puasa yang hanya meninggalkan makan, minum, dan hubungan seksual di siang hari. Inilah batas wajib bagi muslim yang baligh. Kedua, puasa orang yang khusus (shiyamul khash) yaitu puasa yang tidak hanya menahan diri dari makan, minum, serta hubungan seksual di siang hari tetapi mempuasakan seluruh inderawi; mata, telinga, dan lidah dari segala perbuatan merusak nilai puasa. Ketiga, puasa orang yang istimewa (khawahul khawash) yaitu puasa yang tidak hanya perut, mulut, kemaluan, serta seluruh inderawinya, tetapi juga mempuasakan hati dan pikirannya. Pada level ketiga inilah terletak tujuan akhir puasa, yaitu taqwa. Ketika puasa telah sampai pada level ketiga maka pelakunya sampai pada esensi puasa yaitu menahan diri atau mengendalikan diri.

Di mata Allah swt, puasa memiliki kedudukan khusus sebagaimana Bukhari dan Muslim yang meriwayatkan sabda Rasulullah, Setiap amal anak Adam satu kebaikan darinya dilipatgandakan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali. Allah berfirman: “Kecuali puasa, ia adalah milikKu dan Aku yang akan membalasnya. Dia meninggalkan syahwat dan makannya karena Aku.” Seperti yang dapat kita ketahui bersama, syahwat dan hawa nafsu adalah biang kerusakan manusia di ruang kehidupan yang manapun. Dalam rumah tangga, syahwat dan hawa nafsu tak terkendali dalam berbagai macam variannya, juga menjadi sumber konflik dan masalah. Jika suami maupun isteri adalah orang yang ahli puasa maka keduanya menjadi pribadi yang mampu meredam biang masalah sehingga rumah tangga akan menemukan kedamaian.

Ya Allah betapa manisnya buah dari berpuasa. Seseorang akan taqwa dimanapun ia berada dan kapanpun meskipun tak seorang pun melihatnya. Semangat dan hikmah dari berpuasa inilah yang penulis rincikan dalam mengendalikan diri di biduk rumah tangga. Rumah tangga dengan segala tantangan yang bisa menjadi pemicu konflik dapat dijalani dengan manis jika suami isteri mampu mengendalikan diri. Misalnya saja, menjaga pandangan dari yang haram sehingga suami/isteri tidak timbul rasa membanding-bandingkan pasangan dengan orang lain. Melalui pandangan yang liar ini, bisa membuat seseorang tidak mensyukuri pasangan yang telah dianugerahkan Allah dengan pas. Contoh lain ialah isteri menjaga telinga dari gossip dan menahan diri untuk tidak mengeluh sehingga suami dapat terhindar dari fitnah ingin korupsi. 

Penulis juga menggambarkan manisnya sahur bersama keluarga, sholat malam berjamaah dengan isteri, menyiapkan buka puasa bersama, menyimak bacaan dan hafalan qur’an bersama, I’tikaf bersama. Ah, pokoknya yang indah-indah deh dituliskannya dan membuat pembaca mengharapkan hal yang sama dapat terjadi pada dirinya. Saya jadi ingat bahwa setiap yang dilakukan muslim adalah ibadah selama diniatkan untuk Allah. Sungguh manis jika kita telah mampu mencapai derajat taqwa yah.

Saat telah taqwa, badai konflik sebesar apapun akan mereda 

Saat telah taqwa, riak air tak akan menjadi pusara gelombang

Saat telah taqwa, hujan rintik akan menjadi pelepas dahaga

Saat telah taqwa, cinta seluas langit tak akan sempat berkurang

Kebahagiaan suami isteri yang taqwa melalui tempaan ibadah puasa akan menjadikan kebahagiaan dunia tidak ada apa-apanya. Sebaliknya, mereka menikmati kebahagiaan-kebahagiaan akhirat. Mereka satu sama lain mendukung untuk membaguskan diri di hadapan Allah. Mereka berjuang dengan karakter kelakian dan kewanitaan yang berbeda demi cinta Allah di atas cinta mereka. Berharap menjadi salah satu dari pasangan-pasangan surgawi. Mereka senantiasa melantunkan do’a; Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturuan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Furqan: 74).

Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog Indonesi Membaca.

0 komentar: